Selasa, 17 Desember 2013

Kontroversi Mungucapkan Selamat Natal (Meributkan Natal)

Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender), mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk menentukan khususnya Idul Fitri. Dengan berbagai alasan, ini bisa dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadhan.Tapi orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari raya ummat lain. Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok.  Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.
Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.
* * * * *
Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.
Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.
Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.
Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).
Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas. Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.
Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.
Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.
Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.
Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.
HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.
Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.
Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.
Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.
Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.
Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu  ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.
Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.
Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.
Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.
dikutip dari Achmad Munjid di blog http://pasulukanlokagandasasmita.com/meributkan-natal/

Jumat, 22 November 2013

Mengapa Menara Pisa Miring?

Menara miring Pisa (dalam Bahasa Italia: Torre pendente di Pisa) atau yang biasa disebut The Tower of Pisa (La Torre di Pisa) adalah sebuah menara lonceng dari sebuah katedral di kota Pisa, Italia. Menara ini terletak di belakang katedral dan merupakan struktur ketiga di Campo dei Miracoli (keajaiban) Pisa.



Walaupun rencana semula dibangun secara vertikal, menara itu mulai miring ke arah tenggara segera setelah dilakukan konstruksi di tahun 1173, dikarenakan pondasi yang tak sempurna.
Tinggi dari menara tersebut adalah 55,86 km dari permukaan tanah di sisi terendah, dan 56,70 m di sisi yang tertinggi. Lebar alas bangunan itu adalah 4,09 m dan lebar puncaknya adalah 2,48 m. Berat menara ini diperkirakan 14,500 ton dan memiliki 294 anak tangga.

Konstruksi dari Menara Pisa dibangun dalam tiga tahap, yang memakan waktu sekitar 200 tahun. Konstruksi marmer putih di lantai pertama dimulai pada tanggal 9 Agustus 1173, pada masa kejayaan militer dan kemakmuran Italia. Lantai pertama ini dikelilingi oleh beberapa pilar dan walaupun posisinya miring, namun tetap tahan selama berabad-abad.
Ada kontroversi seputar identitas dari arsitek yang membangun Menara Miring Pisa. Selama bertahun-tahun, desain tersebut diyakini dibuat oleh Guglielmo dan Bonanno Pisano, artis lokal kenamaan di abad ke-12, yang terkenal dengan karya perunggunya, khususnya pada karyanya Pisa Duomo.
Bonanno Pisano meninggalkan Pisa di tahun 1185 dan pindah ke Monreale, Sicilia, namun kemudian kembali lagi dan meninggal di tanah kelahirannya itu. Makamnya ditemukan di dasar tower di tahun 1820.
Menara itu pertama kali miring setelah lantai ketiga dibangun di tahun 1178, dikarenakan amblasnya pondasi sedalam tiga meter, akibat pergerakan tanah. Ini berarti bahwa desain dari menara tersebut telah cacat sejak pada awalnya.

Konstruksi dihentikan sementara selama hampir seabad lamanya, karena para warga Pisa hampir terlibat peperangan dengan Genoa, Lucca dan Florence. Selama masa 'istirahat' ini, struktur tanah di bawahnya telah kembali stabil. Dan di tahun 1198, dipasang jam untuk sementara pada bangunan yang masih belum tuntas itu.

Di tahun 1272, bangunan itu dilanjutkan kembali oleh Giovanni di Simone, arsitek dari Camposanto. Lantai keempat dibangun untuk mengimbangi kemiringan dari menara ini. Pembangunan kembali dihentikan di tahun 1284, saat Pisa ditaklukan oleh Genoa dalam Pertempuran Meloria.
Pembangunan menara lonceng ini tak selesai terhenti hingga 1372. Setelah itu, Tommaso di Andrea Pisano berhasil menyelesaikan elemen-elemen Gothic dari menara tersebut, dengan memberikan sentuhan gaya Roma. Terdapat tujuh lonceng pada menara tersebut, yang masing-masing mewakili not pada nada. Lonceng yang terbesar dipasang pada tahun 1655.



Kamis, 21 November 2013

Fakta Sesat Tentang Perokok ( Ternyata Rokok Tidak Berbahaya Loh )

1. Katanya perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif, maka untuk mengurangi resiko tersebut, marilah untuk aktif merokok.

2. Mengurangi resiko kematian: Di dalam berita tidak pernah ditemui orang yang meninggal dalam posisi sedang memegang rokok. 

3. Berbuat amal kebaikan: Kalau ada orang yang mau pinjam mancis untuk bakar rokok nya atau pun mau bakar rumah tetangganya, paling tidak sudah siap dan tidak mengecewakan orang yang ingin meminjam.

4. Baik untuk basa-basi dan keakraban: Kalau ketemu orang misalnya di Halte, atau di rumah makan seusai makan, kita bisa tawarkan rokok. Kalau basa-basinya nawarkan uang, kan nggak lucu!

5. Memberikan lapangan kerja bagi buruh rokok, dokter, pedagang asongan dan perusahaan obat batuk, serta tukang gali kubur.



6. Memberikan pemasukan yang banyak untuk negara Indonesia, makanya sampai sekarang rokok tidak dilarang.

7. Berbuat amal lagi : Menghilangkan bau wangian ruangan bagi yang alergi bau parfum.

8. Membantu program KB nya pemerintah dan mengurangi angka perselingkuhan, karena katanya, merokok bisa menyebabkan impotensi.

9. Melatih kesabaran dan menambah semangat pantang menyerah, karena bagi pemula, merokok itu tidak mudah, batuk dan tersedak tapi tetap diteruskan (bagi yang lulus).

10. Anti maling, waktu perokok batuk berat di malam hari. daripada beli gembok tambahan atau pasang alarm rumah kan uang juga yang keluar. mendingan pake rokok aja.

11. Membantu shooting film sadis/ kejam, rokok digunakan penjahat buat nyundut jagoan yang terikat di kursi.

12. Juga membantu film Koboi pasti lebih gaya kalau merokok sambil naik kuda, soalnya kalau sambil ngupil susah loh.



13. Bisa membentuk PARTAI PEROKOK INDONESIA dan memenangkan PEMILU. “Sekitar 31,4 persen atau 72,8 juta jiwa penduduk Indonesia adalah perokok. Bila perokok indonesia bikin partai akan bisa memenangkan pemilu, karena sekitar 31% penduduk indonesia adalah perokok. Minimal dapat kursi di DPR.

14. Siap Makan pasti lebih nyaman dan lebih terasa dunia jika sudah merokok, sebab ada istilah mengatakan "sesedih-sedihnya film India, Lebih sedih siap makan ngga merokok".

15. Teman boker yang setia.